Banyak Perguruan ataupun pribadi yang menawarkan pelatihan-pelatihan
tenaga dalam. Namun tak banyak dari mereka yang paham sejarah tenaga
dalam itu sendiri. Memang perkembangan tenaga dalam Indonesia tidak
diimbangi kepedulian dalam penelusuran asal-usul, siapa tokoh yang
menciptakan dan mengembangkannya. Bahkan sebagian besar dari perguruan
itu berupaya menyembunyikan sejarah dari mana pendiri perguruan itu
belajar tenaga dalam. Ada juga Guru yang sengaja mengarang sejarah
layaknya cerita yang di-dramatisir untuk mendongkrak nama dan “omset
penjualan” perguruannya.
Berikut ini adalah hasil temuan kami atas pengamatan dan penelusuran sejarah Tenaga Dalam di Indonesia.
Tenaga
dalam (versi Indonesia) identik dengan ilmu yang mampu menghalau lawan
dalam keadaan amarah/emosi dari jarak jauh. Lazimnya, bela diri jenis
ini digali melalui olah napas, jurus dan pengejangan pada bagian tubuh
tertentu (dada/perut). Terkadang pula disertai ajaran spiritual.
Perkembangan
sejarah tenaga dalam di Indonesia diwarnai oleh 4 tokoh penting. Yaitu
Muhammad Toha pendiri Sin Lam Ba (Jakarta), Anandinata pendiri Margaluyu
(Bandung), H Abdul Rasyid pendiri Budi Suci (Bogor) dan Nampon pendiri
Tri Rasa (Bandung).
Pada akhir abad 19 tenaga dalam sudah mulai
dipelajari secara terbatas tetapi baru keluar dari “sangkar”-nya pada
tahun 1932 ketika Nampon melakukan aktivitas nyleneh di depan stasiun
Padalarang. Saking girangnya menyambut kelahiran anak pertamanya, Nampon
diluar kesadarannya berteriak-teriak seperti orang gila. Karena
dianggap gila, Nampon hendak diringkus beramai-ramai. Namun dari sekian
orang yang akan menjamah tubuhnya itu jatuh terpelating.
Nampon
lahir di Ciamis pada tahun 1888 dan wafat tahun 1962. Semula adalah
pegawai di jawatan kereta api di jaman Belanda. Ia dipecat dan berulang
kali masuk bui karena sikapnya yang anti penjajah Belanda. Diantara
murid Nampon yang berjasa ikut mengembangkan tenaga dalam adalah Setia
Muchlis dan KM Tamim yang kemudian mendirikan perguruan TRI RASA yang
banyak diikuti kalangan Mahasiswa di Bandung, diantaranya murid itu
adalah Bung Karno dan M Natsir.
Dari Nampon
Menurut
kalangan pendekar sepuh di wilayah Jawa Barat, sebelum memperkenalkan
“jurus tenaga dalam“ Nampon banyak belajar ilmu dari pendekar yang lebih
senior. Ia pernah berguru pada Abah Khoir pencipta silat Cimande, dan
pendekar-pendekar asal Batavia diantaranya Bang Madi, Bang Kari, Bang
Ma’ruf juga H Qosim pendekar yang diasingkan kerajaan Pagar Ruyung,
Padang karena mengajarkan silat di luar kerajaan.
Kini ketika
perguruan tenaga dalam menjamur hampir di seluruh kota dengan bendera
yang berbeda-beda (walau corak jurus dan oleh napas serupa), kemudian
muncul pertanyaan, dari mana asalnya ilmu tenaga dalam dan siapa tokoh
yang pertama kali menciptakannya?
Sidik, murid dari H Abdul
Rosyid pendiri aliran Budi Suci yang banyak menyebarkan aliran ini di
Jawa dan Sumatra, pada tahun 1985 mengatakan bahwa jurus tenaga dalamnya
diwarnai keilmuan Abah Khoir dan Nampon. Begitu halnya dengan aliran
yang banyak berkembang di Jawa Tengah, seperti Ragajati di Banyumas, JSP
(Jurus Seni Penyadar) di Tegal dan beberapa aliran di Semarang.
Yosis
Siswoyo Guru Besar aliran Bandar Karima Bandung saat dikonfirmasi,
mensinyalir bahwa kemunculan tenaga dalam di wilayah Jawa Barat secara
terbuka memang terjadi pada masa Nampon sepulang dari penjara Digul.
Namun
demikian Yosis tidak berani memastikan pencipta jurus tenaga dalam itu
Nampon seorang, mengingat pada masa yang hampir bersamaan, di
Batavia/Jakarta juga muncul aliran Sin Lam Ba dan Al-Hikmah, bahkan pada
tahun yang hampir bersamaan, di daerah Ranca Engkek Bandung Andadinata
memunculkan ilmu tenaga dalam yang diklaim asli hasil pemikirannya
sendiri.
Aliran Andadinata ini kemudian dikenal dengan nama Marga
Rahayu namun kemudian dirubah menjadi Margaluyu dan mulai dikenalkan
pada pada khalayak pada tahun 1932, tetapi pada tahun 1922 aliran itu
sudah diperkenalkan dalam lingkup yang terbatas.
Anandinata konon
memiliki beberapa murid, diantaranya Dan Suwaryana, dosen ASRI yang
juga wartawan di Yogyakarta. Dari Dan Suwaryana ini kemudian “pecah”
(berkembang) lebih dari 17 perguruan tenaga dalam besar yang kini
bermarkas di kota gudeg, Yogyakarta, diantaranya Prana Sakti yang
dikembangkan Aspanuddin Panjaitan.
Menurut berbagai pihak yang
dapat dipercaya, perguruan yang terinspirasi oleh Prana Sakti itu,
diantaranya : Prana Sakti Indonesia, Prana Sakti Jayakarta, Satria
Nusantara, Perdawa Padma, Radiasi Tenaga Dalam, Kalimasada, Bunga Islam,
Al-Barokah, Indonesia Perkasa, Sinar Putih, Al-Barokah, Al-Ikhlas, dll.
Para Wali
Konon,
keilmuan yang ada pada Margaluyu itu sendiri memiliki silsilah dari
para Wali di tanah Jawa, yang apabila diruntut yaitu dari Syekh Datul
Kahfi – Prabu Kian Santang / P.Cakrabuana (Setelah masuk Islam dikenal
sebagai Sunan Rahmad Suci Godong Garut) kemudian ke : Sunan Gunung Jati
dan dari beliau turun ke Anandinata.
Hingga kini sejarah tenaga
dalam masih misteri, siapa tokoh yang pertama kali menciptakannya. Para
pinesepuh juga tidak memiliki refrensi yang kuat berkaitan dengan
sejarah perguruan dan pencetusnya.
Dari kalangan Budi Suci atau
perguruan yang mengambil sumber dari aliran yang didirikan H Abdul
Rosyid ini setidaknya ada 3 nama tokoh yang disebut-sebut dalam “ritual”
yaitu Madi, Kari dan Syahbandar (atau disebut Subandari, tetapi bernama
asli H Qosim).
Tentang nama Madi, Kari dan Syahbandar
sebagaimana disebut diatas, memang banyak mewarnai keilmuan Nampon,
namun keilmuan itu lebih bersifat fisik, karena dalam catatan “tempo
doeloe” Madi dan Kari belum memperkenalkan teknik bela diri tenaga dalam
(pukulan jarak jauh).
Baik Madi, Kari dan Syahbandar dikenal
sebagai pendekar silat (fisik) pada masanya. H. Qosim yang kemudian
dikenal sebagai Syahbandar atau Mama’ Subadar karena tinggal dan
disegani masyarakat desa Subadar di wilayah Cianjur. Sedangkan Madi
dikenal sebagai penjual dan penjinak kuda binal yang diimpor asal Eropa.
Dalam
dunia persilatan Madi dikenal pakar dalam mematah siku lawan dengan
jurus gilesnya, sedangkan Kari dikenal sebagai pendekar asli Benteng
Tangerang yang juga menguasai jurus-jurus kung fu dan ahli dalam teknik
jatuhan.
Pada era Syahbandar, Kari dan Madi banyak pendekar dari
berbagai aliran berkumpul. Batavia seakan menjadi pusat barter ilmu bela
diri dari berbagai aliran, mulai dari silat Padang, silat Betawi
kombinasi kung fu ala Bang Kari, juga aliran Cimande yang dibawa oleh
Khoir.
Dari aliran Budi Suci yang keilmuannya konon bersumber
dari Khoir dan Nampon, juga tidak berani mengklaim bahwa tenaga dalam
itu bersumber (hanya) dari Nampon seorang. Begitu halnya kalangan yang
mengambil sumber dari Margaluyu.
Kalangan Budi Suci, menganalisa
bahwa Namponlah yang patut dianggap sebagai pencipta, karena dalam
ritual (wirid), nama-nama yang disebut adalah Madi, Kari dan Syahbandar
(Syeh Subandari), sedangkan nama Nampon tidak disebut-sebut. Ini
menunjukkan bahwa inspirasi ilmu berasal dari tokoh sebelum Nampon,
walau nampon yang kemudian merangkum dan menyempurnakannya. Namun
simpulan itu diragukan mengingat pada masa pendekar Madi, Kari,
Sahbandar ini tenaga dalam belum dikenal.
Terbukti, dalam suatu
peristiwa saat Madi diserang kuda binal juga mematahkan kaki kuda dengan
tangkisan tangannya, dan Khoir guru dari Nampon saat bertarung dengan
pendekar Kung Fu, juga menggunakan selendang untuk mengikat lawannya
pada pohon pinang. Artinya, jika tenaga dalam itu sudah ada, dan
mereka-mereka itu adalah pakarnya, kenapa musti pakai selendang segala?
Kenapa tidak pakai “jurus kunci” agar pendekar Kung Fu itu tidak bisa
bergerak.
Justru pemanfaatan tenaga dalam itu baru tercatat pada
era Nampon tahun 1930-an. Kasus “histeris” saat menyambut kelahiran
anaknya di depan stasiun Padalarang, dan pertarungan Nampon dengan
Jawara Banten juga saat melayani tantangan KM Thamim yang (setelah
kalah) lalu berguru kepadanya.
Yosis Siswoyo (63) dari Silat
Bandar Karima (kepanjangan dari Syahbandar, Kari dan Madi) termasuk
kalangan pendekar generasi tua di Bandung juga mengakui dari kalangan
perguruan pencak silat dan tenaga dalam memang kurang mentradisikan
dalam pelestarian sejarah perguruannya.
Walau Yosis menyebut
Nampon dan Andadinata sebagai tokoh yang banyak berjasa mengenalkan
tenaga dalam di wilayah Jawa Barat, namun kemunculan Sin Lam Ba dan
Al-Hikmah di Batavia pada kurun waktu yang hampir bersamaan, (bahkan
disinyalir lebih dulu) juga perlu dipertimbangkan bagi yang ingin
melacak sejarah.
Tentang Sin Lam Ba, H Harun Ahmad, murid
Muhammad Toha guru besar Sin Lam Ba - Jakarta, kepada penulis
menjelaskan bahwa pada tahun 1896 Bang Toha yang juga anggota Polisis di
zaman Belanda itu menemukan jurus tenaga dalam dari H Odo seorang kiai
dari pesantren di Cikampek, Jawa Barat sedangkan Al-Hikmah yang
dikembangkan oleh Abah Zaki Abdul Syukur juga bersumber dari Bang Toha
bahkan pada awal kali memulai aktivitas perguruannya, sempat bergabung
dibawah panji Sin Lam Ba. Namun ketika H Harun Ahmad ditanya tentang
dari mana H Odo mendapatkan ilmu itu, ia tak dapat menjelaskannya.
H
Harun hanya menjelaskan, aliran tenaga dalam yang kini berubah menjadi
nama yang banyak dan berbeda-beda itu, dulunya adalah “Ilmu Tanpa Nama”
yang kemudian dikembangkan pencetusnya dengan cara mengadopsi atau
menyampur dari berbagai aliran yang pernah dipelajarinya.
Mulai Berubah Fungsi
Melacak sejarah perkembangan tenaga dalam setidaknya dapat ditelusuri dari sejarah berdirinya aliran tenaga dalam “tua” yaitu :
1896 pertemuan M. Toha dengan H. Odo di Cikampek lalu berdiri aliran Sin Lam Ba di Jakarta.
1922
secara terbatas Andadinata mulai memperkenalkan jurus tenaga dalam di
daerah Ranca Engkek, Bandung. Dari Andadinata kemudian muncul aliran
Margaluyu.
1932 Nampon mendirikan aliran Tri Rasa di Bandung dan H. Abdul Rosyid mendirikan aliran Budi Suci di Bogor.
Penelusuran
sementara sejarah perkembangan perguruan tenaga dalam lebih tertuju
pada wilayah Jawa Barat dan Batavia sebagai tempat kelahiran aliran
tenaga dalam.
Aliran bercorak Nampon menyebar ke Jawa Tengah
melalui perguruan Ragajati, JSP (jurus seni penyadar) dan beberapa
aliran tanpa nama.
Sin Lam Ba lebih banyak berkembang di wilayah
Jakarta, sedangkan Al-Hikmah masuk Jawa Tengah melalui jalur pesantren
Bambu Runcing di Parakan Temanggung. Budi Suci yang didirikan H. Abdul
Rosyid di Bogor memilih wilayah pengembangan di wilayah pantai utara ke
arah timur mulai dari Jakarta, Bekasi, Karawang, Cikampek, Kuningan,
Indramayu dan Cirebon, Semarang, Rembang dan tahun 1983 di Cluwak, Pati
Utara. Sedangkan Margaluyu justru berkembang pesat di wilayah
Yogyakarta, walau guru yang belajar dari aliran ini kemudian mengganti
perguruan dengan nama baru.
Pada tahun-tahun berikutnya,
perkembangan perguruan tenaga dalam layaknya MLM (Multi Level
Marketing). Seseorang yang belajar pada suatu perguruan memilih untuk
mendirikan perguruan baru sesuai selera pribadinya. Ini adalah gejala
alamiah yang tidak perlu dimasalahkan, karena setiap guru atau orang
yang merasa mampu mengajarkan ilmu pada orang lain itu belum tentu
sepaham dengan tradisi yang ada pada perguruan yang pernah diikutinya.
Pertimbangan
merubah nama perguruan itu dilatarbelakangi oleh hal-hal yang amat
kompleks, mulai adanya ketidaksepahaman pola pikir antara orang zaman
dulu yang mistis dan kalangan modernis yang mempertimbangkan sisi
kemurnian aqidah dan ilmiah, disamping pertimbangan dari sisi komersial.
Yang pasti, misi orang mempelajari tenaga dalam pada masyarakat
sekarang sudah mulai berubah dari yang semula berorientasi pada ilmu
kesaktian menuju pada gerak fisik (olah raga) karena orang sekarang
menganggap lawan berat yang sesungguhnya adalah penyakit. Karena itu,
promosi perguruan lebih mengeksploitasi kemampuan mengobati diri sendiri
dan orang lain.
Aliran perguruan tenaga dalam yang
mengeksploitasi kesaktian kini lebih diminati masyarakat tradisional.
Dan menurut pengamatan penulis, perguruan ini justru sering “bermasalah”
disebabkan pola pembinaan yang menggiring penganutnya pada sikap
“kejawaraan” melalui doktrin-doktrin yang kurang bersahabat pada aliran
lain dari sesama perguruan tenaga dalam maupun bela diri dari luar
(asing).
Sikap ini sebenarnya bertentangan dengan sikap para
tokoh seperti Bang Kari yang selalu wanti-wanti agar siapapun yang
mengamalkan bela diri untuk selalu memperhatikan “sikap 5” yaitu : 1.
Jangan cepat puas. 2. Jangan suka pamer. 3. Jangan merasa paling jago.
4. Jangan suka mencari pujian dan 5. Jangan menyakiti orang lain.
Dan
perlu diingat, perkembangan pencak silat sebagai dasar dari tenaga
dalam itu, baik pelaku maupun keilmuannya dapat berkembang karena
silaturahmi antar tokoh, mulai dari silat Pagar Ruyung Padang yang
dibawa H Qosim (Syahbandar), Bang Kari dan Bang Madi yang merangkum
silat Betawi dengan Kung Fu, juga Abah Khoir dengan Cimandenya, RH.
Ibrahim dengan Cikalongnya.
Rangkapan Fisik
Setiap
perguruan tenaga dalam memberikan sumbangsih tersendiri bagi masyarakat
Indonesia. Margaluyu menorehkan tinta emas sebagai perguruan tua yang
banyak mengilhami hampir sebagian besar perguruan di Indonesia, dan
cabang-cabang dari perguruan ini banyak berjasa bagi pengembangan tenaga
dalam yang ilmiah dan universal.
Sin Lam Ba, Al-Hikmah, Silat
Tauhid Indonesia berjasa dalam memberikan nafas religius bagi
pesertanya, dan aliran Nampon berjasa dalam memberikan semangat bagi
para pejuang di era kemerdekaan.
Terlepas dari sisi positif dari
aliran-aliran besar itu, pengembangan aliran tenaga dalam yang kini
masih memilih corak pengembangan bela diri dan kesaktian itu justru
mendapat kritik dari para pendahulunya.
Pada tahun 1984 Alm.
Sidik murid dari H Abdul Rosyid saat berkunjung ke wilayah Pati utara
dan menyaksikan cara betarung (peragaan) suatu perguruan “pecahan” dari
Budi Suci, menyayangkan kenapa sebagian besar dari siswa perguruan
tenaga dalam itu sudah meninggalkan teknik silat (fisik) sebagai basic
tenaga dalam.
Artinya, saat diserang mereka cenderung diam dan
hanya mengeraskan bagian dada/perut. Kebiasaan ini menurutnya suatu saat
akan menjadi bumerang saat harus menghadapi perkelahian diluar
gelanggang latihan. Karena saat latihan hanya dengan “diam” saja sudah
mampu mementalkan penyerang hingga memberikan kesan bahwa menggunakan
tenaga dalam itu mudah sekali.
Mereka tidak sadar bahwa dalam
perkelahian di luar gelanggang latihan itu, suasananya berbeda. Dalam
arena latihan yang dihadapi adalah teman sendiri yang sudah terlatih
dalam menciptakan emosi (amarah).
Cara bela diri memanfaatkan
tenaga dalam yang benar menurut Alm. Sidik sudah dicontohkan oleh Nampon
saat ditantang jawara dari Banten dan saat akan dicoba kesaktiannya
oleh KM Tamim. Yaitu, awalnya mengalah dan berupaya menghindar namun
ketika lawan masih memaksa menyerang, baru dilayani dengan jurus silat
secara fisik, menghindar, menangkis dan pada saat yang dianggap tepat
memancing amarah dengan tamparan ringan dan setelah penyerang emosi,
baru menggunakan tenaga dalam.
Pola pembinaan bela diri yang
tidak lengkap yang hanya fokus pada sisi batin saja, sering menjadi
bumerang bagi mereka yang sudah merasa memiliki tenaga dalam sehingga
terlalu yakin bahwa bagaimanapun bentuk serangannya, cukup dengan diam
(saja) penyerang pasti mental. Dan ketika mereka menghadapi bahaya yang
sesungguhnya, ternyata menggunakan tenaga dalam tidak semudah saat
berlatih dengan teman seperguruannya.
Fenomena pembinaan yang
sepotong-potong ini tidak lepas dari keterbatasan sebagian guru yang
pada umumnya hanya pernah “mampir” di perguruan tenaga dalam. Sidik
mengakui banyak orang yang belajar di Budi Suci hanya bermodal “jurus
dasar” saja sudah banyak yang berani membuka perguruan baru. Padahal
dalam Budi Suci itu terdapat 3 tahapan jurus. Yaitu, Dasar Jurus – Jodoh
Jurus dan Kembang Jurus (ibingan).
Karena tergesa-gesa ingin
membuka aliran baru itu menyebabkan siswa sering tidak siap disaat harus
menggunakan tenaga dalamnya. Dan Yosis Siswoyo dari Bandar Karima
memberikan konsep bahwa keberhasilan memanfaatkan tenaga dalam
ditentukan dari prinsip “min-plus” yang dapat diartikan : Biarkan orang
berniat jahat (marah), aku memilih untuk tetap bertahan dan sabar.
Karena
itu pembinaan fisik, teknik bela diri fisik, teknik, kelenturan,
refleks dan mental bertarung perlu ditanamkan terlebih dahulu karena
kegagalan memanfaatkan tenaga dalam lebih disebabkan mental yang belum
siap sehingga orang ingat punya jurus tenaga dalam setelah perkelahian
itu sudah usai.
Berdasarkan pengamatan, tenaga dalam berfungsi
baik justru disaat pemiliknya “tidak sengaja” dan terpaksa harus
bertahan dari serangan orang yang berniat jahat. Dan tenaga dalam itu
sering gagal justru disaat tenaga dalam itu dipersiapkan sebelumnya
untuk “berkelahi” dan akan lebih gagal total jika tenaga dalam itu
digunakan untuk mencari masalah.
Tenaga dalam harus bersifat
defensif atau bertahan. Biarkan orang marah dan tetaplah bertahan dengan
sabar dan tak perlu mengimbangi amarah. Sebab jika pemilik tenaga dalam
mengimbangi amarah, maka rumusnya menjadi “plus ketemu plus” yang
menyebabkan energi itu tidak berfungsi. Dan dalam hal ini Budi Suci
menjabarkan konsep “min – plus” itu dengan sikap membiarkan lawan “budi”
(bergerak/amarah) dan tetap mempertahankan “suci” (sabar, tenang).
Memposisikan
diri tetap bertahan (sabar) sangat ditentukan tingkat kematangan
mental. Dan pada masa Nampon dan H Abdul Rosyid, tenaga dalam banyak
berhasil karena dipegang oleh pendekar yang sudah terlatih bela diri
secara fisik (sabung) sehingga saat menghadapi penyerang mentalnya tetap
terjaga.
Sekarang semua sudah berubah. Orang belajar tenaga
dalam sudah telanjur yakin bahwa serangan lawan tidak dapat menyentuh
sehingga fisik tidak dipersiapkan menghindar atau berbenturan. Dan
karena tidak terlatih itu disaat melakukan kontak fisik, yang muncul
justru rasa takut atau bahkan mengimbangi amarah hingga keluar dari
konsep “min-plus”.
Tenaga Dalam Pantura
Perkembangan
tenaga dalam di wilayah eks Karisedenan Pati tak lepas dari peran
Perguruan Satya dibawah asuhan alm. Soeharto – Semarang.
Satya
berkembang di wilayah Pati awalnya dibawa oleh murid Soeharto bernama
Subiyanto asal Jepara. Namun Subiyanto kemudian membuat perguruan
Mustika. Walau perguruan ini hanya muncul sesaat kemudian tidak
terdengar lagi.
Pada akhir tahun 70-an Satya masuk wilayah Pati
dengan corak yang saat itu dianggap tabu karena berlatih pada tempat
terbuka pada siang hari. Ini berbeda dengan aliran lain yang memilih
berlatih secara sembunyi-sembunyi.
Satya lebih mudah diterima
masyarakat karena sifatnya yang terbuka, lebih njawani dan tidak
bernaung dibawah partai politik tertentu bahkan menerima anggota dari
semua agama, walau dalam ritualnya Satya tidak jauh beda dengan aliran
Budi Suci yang dikembangkan oleh Bang Ali yang saat itu juga banyak
berkembang di Jawa Tengah.
Kesamaan Satya dengan Budi Suci
disebabkan alm. Soeharto mengenal jurus tenaga dalam itu berasal dari
Yusuf di Tanjung Pinang, dan Yusuf adalah murid dari alm. Sidik, salah
satu dari murid H Abdul Rosyid sang pendiri aliran Budi Suci.
Dalam
lingkup pergruannya, Soeharto hampir tidak pernah menyebut-nyebut nama
Yusuf sebagai sang guru. Ini disebabkan adanya hal yang sangat pribadi
berkaitan dengan sang guru yang WNI keturunan itu. Justru Soeharto lebih
sering menyebut nama Sidik, walau pertemuan keduanya itu baru
berlangsung diawal tahun 80-an.
Ketika beberapa pengurus Satya di
Sirahan, Cluwak berhasil menemukan Sidik di Cilincing, Jakarta Utara,
lalu diboyong untuk meneruskan pembinaan dari anggota Satya yang saat
itu sudah pasif dari berbagai kegiatan perguruan.
Kehadiran Sidik
ke Sirahan ibarat meneruskan pelajaran lanjutan yang tidak terdapat
pada kurikulum Satya. Selain pembaharuan dalam jurus dasar juga
meneruskan pada materi Jodoh Jurus dan Kembang Jurus ciptaan oleh Abah
Khoir sang pendiri Cimande dan sebagian sudah digubah oleh H Abdul
Rosyid.
Sejarah tentang tenaga dalam perlu diketahui oleh mereka
yang mengikuti suatu aliran tenaga dalam. Ketidaktahuan tentang sejarah
itu dapat menggiring seseorang bersikap kacang lupa kulit, bahkan
memunculkan “anekdot spiritual” sebagaimana dilakukan seorang guru
tenaga dalam yang karena ditanya murid-muridnya dan ia tidak memiliki
jawaban lalu menjelaskan bahwa orang-orang yang ditokohkan dalam
perguruan itu dengan jawaban yang mengada-ada.
Misalnya, Saman
adalah seorang Syekh dari Yaman, Madi disebut sebagai Imam Mahdi, Kari
adalah Imam Buchori, Subandari adalah Syeh Isbandari. Dan jawaban
seperti itu tidak memiliki dasar dan konon hanya berdasarkan pada kata
orang tua semata.